Profesor Adam Sedgwick
|
Teman dekat Darwin, Profesor Adam Sedgwick,
termasuk salah seorang yang melihat bahaya yang akan dimunculkan teori
evolusi di masa mendatang. Setelah membaca dan menyelami isi The Origin
of Species, ia mengatakan: "Jika buku ini diterima masyarakat luas,
maka buku ini akan memunculkan kebiadaban terhadap ras manusia yang belum
pernah tersaksikan sebelumnya."
Dan ternyata waktu menunjukkan
bahwa kekhawatiran Sedgwick terbukti benar. Abad ke-20 telah tercatat
dalam sejarah sebagai zaman kegelapan di mana manusia melakukan pembunuhan
masal terhadap sesamanya hanya karena ras atau suku bangsa mereka.
Dalam sejarah manusia, diskriminasi dan pembantaian dengan
alasan yang sama tersebut memang telah terjadi sejak sebelum Darwin. Namun
Darwinisme telah memberikan alasan ilmiah dan pembenaran palsu atas tindakan
tersebut.
"Pelestarian Ras-Ras Pilihan..."
Kebanyakan para pendukung Darwinisme di zaman kita menyatakan
bahwa Darwin tidak pernah berpandangan rasis, akan tetapi para rasislah
yang mengemukakan pemikiran Darwin secara salah untuk disesuaikan dengan
pandangan mereka sendiri. Mereka menegaskan bahwa kalimat "By the
Preservation of Favoured Races" (Dengan Pelestarian Ras-Ras Pilihan) yang
merupakan judul tambahan dari The Origin of Species hanya berlaku pada
binatang. Tetapi, mereka telah mengabaikan perkataan Darwin tentang ras-ras
manusia dalam bukunya.
Menurut pandangan yang dikemukakan Darwin dalam buku ini,
ras-ras manusia berada pada tahap evolusi yang berbeda, dan sejumlah ras
telah berevolusi dan mengalami perkembangan yang lebih cepat dibanding
ras-ras lain. Sebaliknya, beberapa dari mereka hampir setingkat dengan
kera.
Darwin menyatakan bahwa "perjuangan untuk mempertahankan
hidup" juga terjadi antar ras-ras manusia. "Ras-ras pilihan" muncul sebagai
pemenang dalam pertarungan ini. Menurut Darwin, ras-ras terpilih adalah
bangsa kulit putih Eropa. Sementara ras Asia dan Afrika telah tertinggal
dalam perjuangan untuk mempertahankan hidup. Darwin bahkan melangkah lebih
jauh dengan menyatakan bahwa ras-ras ini tak lama lagi akan kalah dalam
pertarungan untuk mempertahankan hidup di seluruh dunia, dan kemudian
musnah. Menurutnya:
Di masa mendatang, tidak sampai berabad-abad
lagi, ras-ras menusia beradab hampir dipastikan akan memusnahkan dan menggantikan
ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kera-kera mirip
manusia tidak diragukan lagi akan dimusnahkan, selanjutnya jarak antara
manusia dengan padanan terdekatnya akan lebih lebar, karena jarak ini
akan memisahkan manusia dalam keadaan yang lebih beradab, sebagaimana
yang kita harapkan, dari Kaukasian sekalipun, dengan jenis-jenis kera
serendah babon, tidak seperti sekarang yang hanya memisahkan negro atau
penduduk asli Australia dengan gorila.
Di bagian lain dari buku The Origin of Species, Darwin kembali
menyatakan keharusan ras-ras rendah untuk musnah dan tidak perlunya orang-orang
lebih maju untuk melindungi dan menjaga mereka agar tetap hidup.
Ia membandingkan
hal ini dengan orang-orang yang membiakkan binatang ternak:
Orang-orang biadab yang memiliki kelemahan
pada tubuh dan akal dengan segera akan terhapuskan; dan mereka yang bertahan
hidup biasanya memperlihatkan kondisi kesehatan yang prima. Sebaliknya,
kita manusia-manusia beradab justru berusaha keras untuk menghentikan
proses penghapusan ini; kita bangun rumah-rumah perawatan bagi orang-orang
berpenyakit jiwa, cacat dan sakit; kita terapkan undang-undang bagi kaum
miskin; dan para pekerja medis kita berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan
nyawa setiap manusia hingga detik yang terakhir. Ada alasan yang memang
dapat dipercaya bahwa vaksinasi telah menyelamatkan ribuan orang, yang
jika kondisi kesehatannya lemah akan terserang penyakit cacar. Dengan
demikian, orang-orang lemah dari masyarakat beradab mampu terus melangsungkan
keturunan mereka. Tak seorang pun yang pernah mengetahui cara pembiakan
hewan-hewan piaraan akan ragu bahwa tindakan ini pasti sangat merugikan
bagi ras manusia.
Sebagaimana telah kita ketahui, dalam bukunya The Origin
of Species Darwin menganggap masyarakat pribumi Australia dan Negro
berada pada tingkatan yang sama dengan gorila, dan menyatakan bahwa ras-ras
ini akan lenyap. Sedangkan terhadap ras-ras lain yang dianggapnya ras
"rendah", ia berpendapat perlunya mencegah mereka beranak-pinak demi menghantarkan
ras-ras ini pada kepunahan. Demikianlah, jejak rasisme dan diskriminasi
yang masih kita jumpai di masa kini mendapatkan restu dan pembenaran dari
Darwin.
Sedangkan tugas bagi "orang yang beradab" , menurut pandangan
rasis Darwin, adalah untuk sedikit mempercepat masa evolusi, sebagaimana
akan kita bahas lebih rinci pada bagian selanjutnya. Dalam keadaan seperti
ini, tidak ada keberatan dari sudut pandang "ilmiah" terhadap tindakan
pemusnahan ras-ras rendah ini sekarang juga; sebab bagaimanapun juga mereka
pada akhirnya akan segera lenyap.
Pandangan rasis Darwin berdampak nyata
di banyak tulisan dan hasil pengamatannya. Sebagai contoh, ia secara terbuka
memperlihatkan pandangan rasisnya ketika menggambarkan keadaan masyarakat
pribumi Teirra del Furo yang disaksikannya selama pelayaran jauh yang
ia ikuti sejak tahun 1871. Ia menggambar-kan pribumi tersebut sebagai
makhluk hidup yang "sepenuhnya telanjang, seluruh tubuhnya dipenuhi zat
warna, memakan apa saja yang mereka temukan layaknya binatang liar, sulit
diatur, kejam terhadap siapapun yang bukan sukunya, merasa senang ketika
menyiksa musuh, mempersembahkan kurban berdarah, membunuh anak-anak mereka
sendiri, memperlakukan istri dengan kasar, meyakini banyak takhayul yang
aneh." Sebaliknya, seorang peneliti, W.P. Snow, yang sepuluh tahun sebelumnya
telah mengunjungi wilayah yang sama, mengemukakan pemandangan yang sangat
berbeda. Menurut Snow, penduduk Tiera Del Fuego adalah "orang-orang yang
terlihat sehat dan kuat; sangat mencintai anak-anak mereka; sejumlah barang
mereka dibuat dengan sangat ahli; mereka mengenal semacam hak kepemilikan
terhadap sesuatu; dan mereka memberikan wewenang dan kuasa kepada beberapa
perempuan yang dituakan."
Pandangan rasis Darwin terungkap dalam perjalanan yang diikutinya. Misalnya, Darwin menganggap istilah "binatang liar" cocok digunakan untuk menyebut para penduduk asli. Padahal, kebudayaan dan keterampilan warga pribumi ini telah diakui dan dipaparkan oleh para peneliti lain. |
Seperti telah dipahami dari contoh-contoh
ini, Darwin adalah seorang rasis tulen. Nyatanya, dalam perkataan penulis
buku What Darwin Really Said, Benjamin Farrington, Darwin mengemukakan
banyak pernyataan tentang "perbedaan-perbedaan lebih besar antar manusia
dari ras-ras yang berbeda" dalam bukunya The Descent of Man.
Selain itu, teori Darwin yang mengingkari keberadaan Tuhan
telah menyebabkan orang tidak lagi memandang manusia sebagai ciptaan Tuhan
yang telah diciptakan dengan kedudukan yang sama. Dan inilah salah satu
penyebab di balik kemunculan rasisme dan pesatnya penerimaan paham ini
di seluruh dunia.
Ilmuwan Amerika, James Ferguson, menyatakan kaitan erat
antara penolakan adanya penciptaan dan kemunculan rasisme sebagaimana
berikut:
Antropologi baru dengan segera menjadi
latar belakang teoritis antara dua aliran pemikiran yang saling bertentangan
tentang asal mula manusia. Yang lebih dahulu dan lebih mapan adalah paham
'monogenisme,' yakni kepercayaan bahwa semua manusia, tanpa membedakan
warna kulit dan ciri lainnya, adalah keturunan langsung dari Adam dan
melalui penciptaan oleh Tuhan. Monogeisme diajarkan oleh kalangan gereja
dan diterima luas hingga abad ke-18, di saat penentangan terhadap kekuasaan
kaum agamawan mulai memperkokoh teori tandingan, yakni 'poligenisme' (teori
evolusi), yang meyakini bahwa masyarakat ras yang berbeda-beda memiliki
asal-usul yang berbeda.
Antropolog India, Lalita Vidyarthi, menjelaskan bagaimana
teori evolusi Darwin menjadikan rasisme dapat diterima oleh ilmu-ilmu
sosial:
Teorinya (Darwin) tentang kelangsungan
hidup bagi yang terkuat disambut hangat oleh para ilmuwan sosial masa
itu, dan mereka percaya bahwa manusia meraih tangga evolusi yang berbeda
yang berpuncak pada peradaban bangsa kulit putih. Hingga paruh kedua abad
ke-19, rasisme diterima sebagai fakta oleh sebagian besar ilmuwan Barat.
Stephen Jay Gould dan bukunya yang mengungkap pandangan rasis Darwin. |
Setelah masa Darwin, para pendukung Darwinisme mengerahkan
segenap daya upaya mereka untuk membuktikan pandangan-pandangan rasisnya.
Untuk tujuan ini, mereka tiada ragu membuat berbagai kesalahan dan pemalsuan
ilmiah. Mereka beranggapan bahwa ketika mereka telah dapat membuktikan
semua ini, maka mereka akan berhasil membuktikan secara ilmiah keunggulan
mereka sendiri dan "hak" untuk menindas, menjajah, dan bahkan kalau perlu
memusnahkan ras-ras lain.
Pada bab ketiga dari bukunya, The Mismeasure
of Man, Stephen Jay Gould mengungkapkan bahwa sejumlah antropolog memalsukan
data mereka untuk membuktikan "keunggulan" ras kulit putih. Menurut Gould,
metode yang seringkali mereka gunakan adalah dengan memalsukan ukuran
otak dari tengkorak-tengkorak fosil yang mereka temukan. Gould menyebutkan
dalam bukunya bahwa, dengan menganggap adanya kaitan antara ukuran otak
dengan tingkat kecerdasan, banyak antropolog dengan sengaja melebih-lebihkan
ukuran tengkorak orang Kaukasia dan merendahkan ukuran tengkorak orang
berkulit Hitam dan Indian.
Dalam bukunya, Ever Since Darwin, Gould menjelaskan
sejumlah pernyataan yang sulit dipercaya dari kaum Darwinis yang ingin
menunjukkan bahwa sejumlah ras tergolong rendah:
Haeckel dan teman-temannya juga mengemukakan
teori rekapitulasi sebagai dalih untuk membenarkan keungggulan ras bangsa
kulit putih Eropa bagian utara. Mereka mencari-cari bukti anatomi dan
perilaku manusia, dengan memanfaatkan segala sesuatu yang mereka temukan
dari otak hingga pusar. Herbert Spencer menulis bahwa "sifat-sifat kecerdasan
pada ras manusia tidak beradab... adalah sifat-sifat yang muncul kembali
pada anak-anak ras beradab." Carl Vogt mengatakan hal tersebut secara
lebih tegas pada tahun 1864: "Negro dewasa, jika dilihat dari kemampuan
berpikirnya, memiliki sifat anak-anak... Sejumlah suku telah mendirikan
negara dengan tatanan yang khas, akan tetapi selebihnya boleh kita tegaskan
bahwa di masa lalu maupun sekarang, keseluruhan ras ini tidak mempersembahkan
sesuatu apapun yang mengarah pada kemajuan bagi umat manusia atau yang
layak untuk tetap dilestarikan."
Ahli anatomi kedokteran Prancis, Etienne Serres, menyatakan
secara jelas bahwa pria berkulit hitam termasuk primitif karena pusar
mereka terletak lebih rendah.
Evolusionis yang sezaman dengan Darwin, Havelock Ellis, mendukung
pembedaan antara ras unggul dan ras rendah dengan suatu penjelasan yang
diyakininya sebagai "ilmiah" sebagai berikut:
Anak dari banyak ras Afrika memiliki tingkat
kecerdasan yang jarang - itu pun kalau ada - di bawah anak Eropa, namun
ketika tumbuh dewasa ia menjadi bodoh dan tumpul, dan seluruh kehidupan
sosialnya terperangkap pada pola kebiasaan picik yang tidak berkembang,
sebaliknya orang Eropa masih memiliki sebagian besar keaktifan dan kecerdasan
yang menyerupai masa kecilnya.
Antropolog Darwinis asal Prancis, Vacher
de Lapouge, mengatakan dalam karyanya yang berjudul Race et Milin
Social Essais d'Anthroposociologie (Paris 1909) bahwa kelas-kelas
selain kulit putih adalah keturunan dari orang-orang biadab yang belum
pernah belajar untuk beradab, atau mungkin juga mereka mewakili golongan
berperangai buruk dari kelas-kelas berdarah campuran. Ia memperoleh data
dengan mengukur tengkorak yang ada di kuburan orang-orang kelas atas dan
kelas bawah di Paris. Menurut hasil yang ia peroleh, berdasarkan tengkorak
mereka, sejumlah orang cenderung kaya, percaya diri, dan merdeka; sedangkan
sekelompok yang lain cenderung konservatif, puas dengan sedikit, dan memiliki
semua sifat seorang pelayan yang baik. Kelas adalah hasil dari seleksi
sosial; golongan kelas atas dalam suatu masyarakat adalah mereka yang
memiliki ras unggul. Tingkat kekayaan berbanding dengan indeks tengkoraknya.
Lapouge kemudian meramalkan, "Saya berpandangan bahwa di tahun-tahun mendatang,
manusia akan saling membunuh dikarenakan bentuk kepala mereka yang bulat
atau lonjong," katanya.
Dan ramalan ini pun menjadi
kenyataan, sebagaimana yang akan kita lihat dengan lebih rinci pada halaman-halaman
berikutnya dalam buku ini, dan abad ke-20 telah menjadi saksi atas pembunuhan
masal yang dilakukan dengan dalih rasisme...!
Pada saat itu ternyata tidak hanya ilmuwan
antropologi, ilmuwan entomologi (ilmu tentang serangga) juga tak mau ketinggalan
untuk turut serta berpandangan rasis, yang telah diawali oleh Darwinisme,
dengan sejumlah pernyataan yang sulit dipercaya. Contohnya, pada tahun
1861, setelah mengumpulkan kutu yang hidup pada tubuh manusia dari berbagai
tempat di dunia, seorang ilmuwan entomologi Inggris sampai pada kesimpulan
bahwa kutu yang hidup pada tubuh manusia dari ras tertentu tidak dapat
hidup pada tubuh manusia dari ras lain. Jika dilihat dari ilmu pengetahuan
masa kini, pendapat ini benar-benar menggelikan.
Ketika
orang berkedudukan sebagai ilmuwan membuat pernyataan semacam ini, maka
tidaklah mengherankan jika para rasis dogmatis menggunakan ungkapan-ungkapan
yang tidak masuk akal, tidak cerdas, dan sama sekali tidak bermakna seperti
"kutu orang Negro adalah Negro."
Singkatnya, pandangan rasisme dari teori Darwin mendapatkan
sambutan baik di paruh kedua abad ke-19 dikarenakan saat itu orang "kulit
putih" Eropa sedang menunggu-nunggu teori yang dapat membenarkan perbuatan
jahatnya.
Kolonialisme Inggris dan Darwinisme
Negara yang paling banyak diuntungkan oleh pandangan rasis
Darwin adalah tanah air Darwin sendiri, Inggris. Di tahun-tahun ketika
Darwin mengemukakan teorinya, Inggris Raya tengah mendirikan imperium
kolonialis nomor satu di dunia. Seluruh sumber kekayaan alam dari India
hingga Amerika Latin dikeruk oleh Imperium Inggris. Orang "kulit putih"
ini sedang menjarah dunia untuk kepentingannya sendiri.
Dipelopori oleh Inggris, tentunya tidak ada negara kolonialis
yang mau dianggap sebagai "penjarah", dan tercatat dalam sejarah dengan
julukan semacam ini. Karenanya, mereka mencari alasan untuk menunjukkan
bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Salah satu alasan yang mungkin
adalah dengan menampilkan rakyat terjajah sebagai "masyarakat primitif"
atau "makhluk mirip binatang". Dengan cara seperti ini, mereka yang dibantai
dan diperlakukan dengan tidak manusiawi dapat dipandang bukan sebagai
manusia, melainkan makhluk separuh manusia separuh binatang. Dengan demikian,
perlakuan buruk terhadap mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan.
Sesungguhnya, alasan yang dicari-cari seperti ini bukanlah
barang baru. Tersebarnya kolonialisme di dunia telah bermula sejak abad
ke-15 dan ke-16. Pernyataan bahwa sejumlah ras memiliki sebagian sifat
binatang pertama kali dikemukakan oleh Christopher Columbus dalam penjelajahannya
ke benua Amerika. Menurut pernyataan ini, penduduk asli Amerika bukanlah
manusia, akan tetapi sejenis binatang yang telah berkembang. Oleh karenanya,
mereka dapat dijadikan pelayan bagi para penjajah Spanyol.
Meskipun Columbus digambarkan dalam sejumlah
film tentang penemuan benua Amerika sebagai orang yang memiliki rasa persahabatan
dan kemanusiaan terhadap penduduk asli, kenyataan membuktikan bahwa Columbus
tidak menganggap para penduduk asli tersebut sebagai manusia.
Christopher Columbus adalah yang pertama kali melakukan pembantaian
besar-besaran. Columbus mendirikan daerah jajahan Spanyol di wilayah-wilayah
yang ia temukan, dan memperbudak penduduk pribumi. Ia bertanggung jawab
atas dimulainya perdagangan budak. Para "penjajah" Spanyol menyaksikan
kebijakan penindasan dan pemerasan yang dijalankan Columbus, dan melanjutkan
hal yang sama.
Akibatnya, pembantaian yang dilakukan mencapai batas yang
sulit dipercaya. Misalnya, penduduk sebuah pulau yang pada saat pertama
kali dikunjungi Colum bus berjumlah 200.000, setelah 20 tahun berkurang
menjadi 50.000, dan pada tahun 1540 hanya 1.000 orang yang masih tersisa.
Saat seorang penjajah Spanyol terkenal, Cortes, menginjakkan kakinya untuk
pertama kali di Meksiko di bulan Februari 1519, keseluruhan penduduk aslinya
berjumlah 25 juta, namun di tahun 1605 jumlah ini berkurang menjadi 1
juta.
Di Pulau Hispaniola, jumlah penduduk yang tadinya 7-8 juta pada
tahun 1492, menjadi 4 juta jiwa pada tahun 1496, dan hanya tersisa 125
orang pada tahun 1570. Berdasarkan angka para sejarawan, dalam waktu kurang
dari seabad setelah Columbus pertama kali menginjakkan kakinya di benua
tersebut, 95 juta manusia dibantai oleh para penjajah. Ketika Columbus
menemukan Amerika, 30 juta penduduk asli mendiami benua tersebut. Akibat
pembantaian yang terjadi di masa lalu dan masa kini, mereka telah menjadi
ras punah dan kurang dari 2 juta orang saja yang masih tersisa.
PEMBANTAIAN PENDUDUK ASLI AMERIKA Penemuan benua Amerika oleh Christopher Columbus menandai awal pembantaian biadab terhadap penduduk asli benua tersebut. |
Yang menyebabkan pembantaian tersebut mencapai tingkat yang
sungguh sangat biadab ini adalah anggapan bahwa para penduduk asli tersebut
bukanlah manusia sejati, melainkan binatang.
Namun, pernyataan para penjajah ini tidak
mendapat dukungan luas. Di Eropa pada saat itu, kebenaran bahwa semua
manusia diciptakan sama oleh Tuhan dan bahwa mereka semua adalah keturunan
dari satu nenek moyang yang sama - yakni Nabi Adam - diterima sedemikian
luas oleh masyarakat sehingga Gereja Katolik secara khusus menyatakan
penentangannya terhadap penyerangan dan penjarahan tersebut. Yang terkenal
di antaranya adalah pernyataan uskup Chiapas, Bartolome da las Casas,
yang menginjakkan kakinya di Dunia Baru bersama Columbus. Ia mengatakan
bahwa setiap penduduk asli adalah "manusia sejati" sebagai jawaban terhadap
pernyataan para penjajah bahwa mereka termasuk "sejenis binatang". Paus
Paulus III mengutuk perlakuan biadab terhadap warga pribumi dalam Pernyataan
Paus pada tahun 1537, dan menyatakan bahwa penduduk asli tersebut termasuk
manusia sejati yang mampu menjadi orang yang taat beragama.
Namun keadaannya berubah di abad ke-19. Seiring dengan tersebarnya
filsafat kaum materialis dan semakin jauhnya masyarakat dari agama, kenyataan
bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan mulai diingkari. Sebagaimana telah
disinggung pada halaman-halaman sebelumnya, hal ini terjadi bersamaan
dengan kemunculan rasisme.
Ratu Victoria dan Cortes, tokoh utama asal Spanyol yang bertanggung jawab dalam pembantaian di benua Amerika. |
Dengan kebangkitan filsafat Darwinis-materialis pada abad
ke-19, rasisme tumbuh semakin kuat, dan ini memberikan dukungan besar
bagi sistem imperialisme Eropa.
James Joll, yang menghabiskan waktunya bertahun-tahun sebagai
profesor sejarah di sejumlah universitas seperti Oxford, Standford dan
Harvard, dalam bukunya yang menjadi rujukan Europe Since 1870 yang kini
masih digunakan sebagai buku pegangan di universitas, menguraikan hubungan
ideologis antara Darwinisme, imperialisme dan rasisme:
Kumpulan pemikiran paling berpengaruh yang mengilhami gagasan
imperialisme adalah yang secara garis besar dapat digolongkan sebagai
'Darwinisme sosial', dan yang melihat hubungan antar negara sebagai pertarungan
abadi untuk memperta-hankan hidup di mana sejumlah ras dianggap 'lebih
unggul' dari yang lain dalam proses evolusi di mana yang kuat senantiasa
menonjolkan diri mereka sendiri.
Charles Darwin, seorang naturalis Inggris yang bukunya The
Origin of Species, terbit pada tahun 1859, dan The Descent of Man, yang
menyusul pada tahun 1871, telah memunculkan perdebatan yang mempengaruhi
berbagai cabang pemikiran di Eropa...
Gagasan Darwin, dan sejumlah tokoh
semasanya seperti filsuf Inggris Herbert Spencer,... dengan cepat diterapkan
pada bidang-bidang yang sangat jauh berbeda dari hal-hal ilmiah yang lebih
berhubungan... Unsur Darwinisme yang terlihat paling mungkin diterapkan
untuk pengembangan masyarakat adalah kepercayaan bahwa jumlah penduduk
yang melebihi sarana pendukungnya mengharuskan adanya perjuangan untuk
mempertahankan hidup secara terus-menerus di mana yang terkuat atau yang
paling layaklah yang menang. Dari sini, para pemikir sosial mendapatkan
kemudahan untuk memberi pengertian moral pada istilah "paling layak",
sehingga jenis atau ras yang akan bertahan hidup adalah mereka yang secara
moral memang berhak untuk tetap hidup.
Oleh karenanya, doktrin tentang seleksi
alam dapat dengan mudah diselaraskan dengan rangkaian pemikiran lain yang
dibangun oleh penulis Prancis, Count Joseph-Arthur Gobineau, yang menerbitkan
karya berjudul An Essay on the Inequality of Human Races pada tahun 1853.
Gobineau menegaskan bahwa unsur terpenting bagi kemajuan adalah ras; dan
ras-ras yang akan tetap unggul adalah mereka yang berhasil mempertahankan
kemurnian rasnya secara utuh. Di antara ras-ras ini, menurut Gobineau,
adalah ras Arya yang paling mampu bertahan hidup... Adalah.. Houston Chamberlain
yang berperan dalam mengembangkan sebagian gagasan ini selangkah lebih
jauh... Hitler sendiri mengagumi sang pengarang (Chamberlain) hingga mengunjunginya
pada saat kematiannya di tahun 1927.
Sebagaimana telah diuraikan, terdapat kaitan ideologis yang
menghubungkan Darwin dengan para pemikir rasis dan imperialis, dan bahkan
dengan Hitler. Darwinisme adalah landasan ideologis imperialisme, yang
menenggelamkan dunia ke dalam kubangan darah pada abad ke-19, dan juga
Nazisme, yang melakukan hal yang sama di abad ke-20.
Inggris Raya zaman Victoria juga mendapatkan apa yang disebut
dengan "pijakan ilmiah"-nya dari Darwinisme. Inggris Raya mengeruk keuntungan
besar dari penjajahan, dan, tanpa merasa bersalah, menimpakan penderitaan
terhadap orang-orang yang dijajahnya demi keuntungannya sendiri. Satu
contoh politik kotor yang dilakukan imperialisme Inggris adalah "Perang
Opium" terhadap Cina. Inggris Raya menyelundupkan opium yang ditanamnya
di India ke Cina sejak perempatan pertama abad ke-19.
Penyelundupan opium
ini dipercepat sejalan dengan waktu untuk membayar kerugian perdagangan
luar negerinya. Masuknya obat bius ini ke negara tersebut juga mengakibatkan
lemahnya kendali Cina atas wilayah kekuasaanya sendiri. Kehancuran masyarakat
dalam waktu singkat mencapai tingkat yang parah.
Pelarangan opium, yang
diberlakukan pemerintah Cina setelah ketidakpastian yang lama, memicu
Perang Opium (1838-1842). Tidak diragukan lagi, perang ini menjadikan
negara bangkrut. Cina dipaksa menyerah akibat ketidakcakapan tentaranya
setiap kali berhadapan dengan pasukan asing dan diharuskannya mengabulkan
permintaan mereka yang terus bertambah. Orang-orang Barat perlahan membentuk
pusat-pusat pemukiman di dalam wilayah kekuasaan Cina sejak tahun 1842.
Mereka merampas wilayah-wilayah pelabuhan utama dari tangan Cina, menyewakan
lahan-lahan mereka, dan mengharuskan negara tersebut membuka diri terhadap
dunia luar dengan cara yang paling mendatangkan keuntungan bagi mereka
sendiri. Akibat dari ini semua, kemiskinan yang melanda negeri, lemahnya
pemerintahan, dan hilangnya secara perlahan-lahan wilayah kekuasaan Cina
memicu banyak pemberontakan.
PEMALSUAN MANUSIA PILTDOWN
Salah
satu bukti menarik betapa teori evolusi memberikan inspirasi bagi
imperialisme Inggris adalah skandal manusia Piltdown.
Pada tahun 1912, sebuah tengkorak aneh ditemukan di
daerah Piltdown, Inggris. Charles Dawson, ilmuwan yang menemu-kannya,
beserta timnya mengumumkan bahwa tengkorak tersebut berasal dari
makhluk separuh kera separuh manusia. Arthur Keith, ahli anatomi
evolusionis terkemuka memeriksa fosil tersebut dan membenarkan temuannya.
Namun, Dawson dan Keith menegaskan satu hal penting.
Otak fosil tersebut berukuran sama dengan otak manusia modern. Akan
tetapi tulang rahangnya memiliki ciri mirip kera.
Tiba-tiba otak manusia Piltdown menjadi kebanggaan
masyarakat Inggris. Karena ditemukan di Inggris, tengkorak ini pastilah
nenek moyang bangsa Inggris. Menurut masyarakat Inggris, volume
otak yang lebih besar menandakan bahwa mereka telah berevolusi lebih
dahulu sebelum ras-ras lain, dan, oleh karenanya, mereka lebih unggul.
Inilah alasan mengapa penemuan manusia
Piltdown membangkit-kan kegembiraaan luar biasa di
Inggris. Koran-koran menampilkannya sebagai judul utama, dan kerumunan
masyarakat bersuka cita merayakan penemuan tersebut. Pemerintah
Inggris bahkan memberi gelar kesatria kepada Arthur Keith untuk
penemuannya.
Ahli paleontologi evolusionis terkenal, Don Johanson,
menjelaskan kaitan antara manusia Piltdown dan imperialisme Inggris:
Penemuan Piltdown sangat Eurosentris. Tidak hanya otaknya
yang memiliki "keunggulan", tapi bangsa Inggris juga memiliki keunggulan.*
Inspirasi yang didapatkan Inggris dari penemuan manusia
Piltdown berlangsung hanya hingga tahun 1953, ketika Kenneth Oakley,
ilmuwan yang memeriksa ulang fosil tersebut dengan lebih teliti,
mengungkapnya sebagai pemalsuan terbesar abad ke-20. Fosil tersebut
dibuat dengan merekatkan rahang orang utan pada tengkorak manusia.
*Don Johnson, In Search of Human Origins, 1994 WHGB
Educational Foundation
|
Apa yang dialami Cina hanyalah salah satu akibat politik
yang dijalankan Inggris. Di sepanjang abad ke-19, penindasan dan beragam
penderitaan akibat penjajahan Inggris dialami oleh wilayah-wilayah seperti
Afrika Selatan, India dan Australia.
Membenarkan penindasan oleh Inggris ini adalah tugas para
sosiolog dan ilmuwan Inggris. Dan Charles Darwin adalah tokoh terpenting
dan yang paling berperan dari kelompok tersebut. Darwinlah yang menyatakan
bahwa selama evolusi berlangsung terdapat "ras-ras unggul", yakni "ras
kulit putih", dan menunjukkan bahwa penindasan oleh bangsa kulit putih
terhadap ras-ras lain hanyalah sebuah "hukum alam."
Karena pembenaran Darwin terhadap rasisme
penjajah, ilmuwan terkenal keturunan Cina, Kenneth J.Hs, ketua jurusan
Geografi, Swiss Federal Institute of Technology, melukiskan Darwin sebagai
"seorang ilmuwan terhormat zaman Victoria, dan tokoh terkemuka masyarakat
yang telah mengirim kapal meriam untuk memaksa pengiriman opium ke Cina,
semuanya atas nama kompetisi (dalam perdagangan bebas) dan kemampuan bertahan
hidup bagi yang terkuat."
Kebencian Darwin terhadap Bangsa Turki
Sasaran paling utama bagi penjajahan Inggris di akhir abad
ke-19 adalah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di masa itu, imperium Utsmaniyyah memerintah wilayah sangat
luas yang terbentang dari Yaman hingga Bosnia-Herzegovina. Namun hingga
saat itu, wilayah yang sebelumnya damai, tentram dan stabil tersebut menjadi
sulit untuk diatur. Penduduk Kristen yang berjumlah sedikit mulai melakukan
pemberontakan dengan dalih ingin merdeka, dan kekuatan militer raksasa
seperti Rusia mulai mengancam kedaulatan Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di seperempat terakhir abad ke-19, Inggris dan Prancis bersekutu
dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di bagian selatan Kekhalifahan
Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani pada tahun 1878, adalah
wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah wilayah Utsmaniyyah.
Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882, Inggris menduduki Mesir, yang
masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris mulai melancarkan
siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah di Timur
Tengah di kemudian hari.
Seperti biasanya, Inggris mendasarkan politik penjajahan
ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris dengan sengaja berusaha menampilkan
bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara
Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa "terbelakang".
Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone
secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili bagian dari
umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban mereka,
mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari
Anatolia.
Perkataan ini, dan semisalnya, digunakan selama puluhan tahun
oleh pemerintah Inggris sebagai alat propaganda melawan bangsa Utsmaniyyah.
Inggris berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa terbelakang yang harus
tunduk kepada ras-ras Eropa yang lebih maju.
KEBENCIAN DARWIN TERHADAP BANGSA TURKI SEBAGAIMANA TERTULIS DALAM
SURAT PRIBADINYA
Charles Darwin menggunakan teorinya guna memperkokoh
rencana politik Inggris melawan Kekhalifahan Utsmaniyyah, dan
berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa yang berasal dari ras
rendah. Di masa kini, musuh bangsa Turki masih saja menjadikan
pernyataan Darwin yang tidak masuk akal ini sebagai dalih.
|
Yang menjadi "landasan ilmiah" bagi propaganda ini adalah Charles Darwin!
Sejumlah pernyataan Darwin tentang bangsa Turki muncul dalam
buku berjudul The Life and Letters of Charles Darwin yang terbit
pada tahun 1888. Darwin mengemukakan bahwa dengan menghapuskan "ras-ras
terbelakang" seleksi alam akan mampu berperan dalam pembangunan peradaban,
dan kemudian menuturkan perkataan yang sama persis sebagaimana berikut
ini tentang bangsa Turki:
Saya dapat menunjukkan bahwa peperangan
dalam rangka seleksi alam telah dan masih lebih memberikan manfaat bagi
kemajuan peradaban daripada yang tampaknya cenderung anda akui. Ingatlah
bahaya yang harus dialami bangsa-bangsa Eropa, tak sampai berabad-abad
yang lalu, karena dikalahkan oleh orang-orang Turki, dan betapa bodohnya
jika pandangan seperti ini sekarang masih ada! Ras-ras 'Kaukasia' yang
lebih beradab telah mengalahkan bangsa Turki hingga tak berdaya dalam
peperangan untuk mempertahankan hidup. Melihat dunia masa depan yang tidak
begitu lama lagi, betapa tak terhitung jumlah ras-ras rendah yang akan
dimusnahkan oleh ras-ras lebih tinggi dan berperadaban di seluruh dunia.
PERANG GALLIPOLI Pada pertempuran Gallipoli, pasukan Turki berperang dengan gagah berani melawan pasukan musuh yang dipimpin oleh Inggris, dan kehilangan 250.000 anggota pasukannya. |
Pernyataan Darwin yang tidak masuk akal ini adalah alat propaganda
tertulis untuk mendukung politik Inggris yang ingin menghancurkan Kekhalifahan
Utsmaniyyah. Dan alat propaganda ini ternyata cukup ampuh. Perkataan Darwin
yang pada intinya berarti "Bangsa Turki akan segera musnah, ini adalah
hukum evolusi" memberi semacam 'pembenaran ilmiah' bagi propaganda Inggris
dengan tujuan menciptakan kebencian terhadap orang-orang Turki.
Keinginan Inggris untuk mewujudkan ramalan Darwin pada intinya
terpenuhi dalam Perang Dunia Pertama. Perang besar ini, yang dimulai pada
tahun 1914, terjadi akibat perang kepentingan antara Jerman dan Austria-Hongaria
di satu pihak, dan persekutuan antara Ingggris, Prancis, dan Rusia di
pihak lain. Namun satu hal terpenting dalam perang ini adalah tujuan untuk
menghancurkan dan memecah belah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah dari dua arah
yang terpisah. Yang pertama adalah melalui arah terusan Suez di Mesir,
Palestina, dan Irak, yang akan dibuka dengan maksud merebut wilayah Utsmaniyyah
di Timur Tengah. Yang kedua adalah melalui Gallipoli, salah satu medan
pertempuran paling berdarah pada Perang Dunia Pertama. Pasukan Turki di
anakkale bertempur dengan gagah berani dan kehilangan 250.000 tentaranya
saat melawan kekuatan musuh yang dihimpun Inggris. Sedangkan Inggris,
daripada mengerahkan pasukannya sendiri, lebih suka mengirimkan tambahan
pasukan India dan kesatuan Anzac yang mereka himpun dari daerah jajahannya
seperti Australia dan Selandia Baru, yang mereka pandang sebagai "ras
terbelakang", untuk memerangi tentara Turki.
Permusuhan Darwin terhadap rakyat Turki terus berlanjut hingga
setelah Perang Dunia Pertama. Kelompok-kelompok Neo-Nazi Eropa yang menyerang
warga Turki di Eropa masih saja mengambil pembenaran dari pernyataan Darwin
yang tidak masuk akal tentang bangsa Turki. Ucapan Darwin tentang bangsa
Turki masih dapat ditemukan di situs-situs internet yang dikelola para
rasis yang memusuhi orang Turki tersebut.
Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika
Tidak hanya di Inggris, Darwinisme sosial
juga memberikan dukungan bagi kaum rasis dan imperialis di negara-negara
lain. Karenanya, paham ini tersebar dengan cepat ke seluruh dunia. Yang
terdepan di antara para penganut teori tersebut adalah presiden Amerika
Serikat, Theodore Roosevelt. Roosevelt adalah pendukung terkemuka dan
tokoh yang menerapkan program pembersihan etnis terhadap penduduk asli
Amerika dengan dalih "pemindahan paksa". Dalam buku The Winning of
the West, ia merumuskan ideologi pembantaian, dan mengatakan bahwa
peperangan antar ras hingga titik penghabisan melawan suku Indian sungguh
tidak terelakkan.
Yang menjadi sandaran utamanya adalah
Darwinisme, yang telah memberikan dalih baginya untuk menganggap penduduk
asli sebagai spesies terbelakang.
Sebagaimana perkiraan Roosevelt, tak satupun perjanjian dengan
penduduk asli Amerika yang dihormati, dan ini pun mendapatkan pembenaran
palsu dari teori "ras terbelakang". Pada tahun 1871, Konggres mengabaikan
semua perjanjian yang dibuat dengan penduduk asli Amerika dan memutuskan
untuk membuang mereka ke daerah tandus, tempat mereka menunggu-nunggu
saat datangnya kematian. Jika pihak lain tidak dianggap sebagai manusia,
bagaimana mungkin perjanjian yang dibuat dengan mereka memiliki keabsahan?
Roosevelt juga mengemukakan bahwa peperangan
antar ras sebagaimana disebutkan di atas merupakan tanda keberhasilan
tersebarnya orang-orang berbahasa Inggris (Anglo-Saxons) ke seluruh dunia.
Salah seorang pendukung utama rasisme Anglo-Saxon, pendeta
evolusionis Protestan asal Amerika, Josiah Strong, memiliki jalan berpikir
yang sama. Ia menulis perkataan berikut:
Kemudian dunia benar-benar akan memasuki
babak baru dalam sejarahnya - kompetisi akhir di antara ras-ras di mana
ras Anglo-Saxon tengah menjalani pelatihan untuk menghadapinya. Jika perkiraan
saya tidak keliru, ras kuat ini akan bergerak memasuki Meksiko, Amerika
Tengah dan Selatan, bergerak keluar memasuki pulau-pulau yang ada di lautan,
ke seberang memasuki Afrika dan seterusnya, dan menguasai semua wilayah.
Dan adakah yang meragukan bahwa hasil kompetisi ini adalah "kelangsungan
hidup bagi yang terkuat?".
Kaum rasis terkemuka yang menggunakan Darwinisme
Sosial sebagai dalih adalah mereka yang memusuhi ras kulit hitam. Mereka
mengelompokkan ras menjadi beberapa tingkatan, menempatkan ras kulit putih
sebagai yang paling unggul dan kulit hitam sebagai yang paling primitif.
Teori-teori rasis mereka ini sangat bersesuaian dengan teori evolusi.
Salah seorang pakar teori rasis evolusionis
terkemuka, Henry Fairfield Osborn, menulis dalam sebuah artikel berjudul
The Evolution of Human Races bahwa "kecerdasan standar rata-rata
orang Negro dewasa setara dengan anak muda Homo sapiens berusia sebelas
tahun"
Dalam bukunya The Winning of the West, Presiden Amerika Serikat Theodore T. Roosevelt menetapkan ideologi pembantaian masal, dan menerapkannya di kemudian hari. |
Berdasarkan cara berpikir ini, orang-orang kulit hitam sama
sekali bukan tergolong manusia. Pendukung gagasan rasis evolusionis yang
terkenal lainnya, Carleton Coon, mengemuka-kan dalam bukunya The Origins
of Race yang terbit pada tahun 1962 bahwa ras kulit hitam dan ras
kulit putih adalah dua spesies berbeda yang telah berpisah satu sama lain
pada zaman Homo erectus. Menurut Coon, ras kulit putih berevolusi
lebih maju setelah pemisahan ini. Para pendukung diskriminasi terhadap
ras kulit hitam telah menggunakan penjelasan 'ilmiah' ini sejak lama.
Keberadaan teori ilmiah yang mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentag diskriminasi ras, menyatakan bahwa "permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan tentang diskrimi-nasi warna kulit". Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di dunia, yang dalam beberapa hal tampak berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya masih dalam pencarian.
Keberadaan teori ilmiah yang mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentag diskriminasi ras, menyatakan bahwa "permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan tentang diskrimi-nasi warna kulit". Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di dunia, yang dalam beberapa hal tampak berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya masih dalam pencarian.
Kemunculan undang-undang diskriminasi ras pertama, yang dikenal
sebagai "Undang-Undang Jim Crow" (Jim Crow digunakan oleh warga kulit
putih sebagai salah satu nama celaan untuk orang kulit hitam) juga terjadi
pada masa itu. Ras kulit hitam benar-benar tidak diperlakukan sebagaimana
layaknya manusia, dipandang rendah dan diperlakukan dengan hina di mana-mana.
Terlebih lagi, ini bukanlah sikap segelintir rasis secara orang per orang,
namun telah ditetapkan sebagai kebijakan resmi negara Amerika dengan undang-undangnya
tersendiri. Segera setelah dikeluarkannya undang-undang pertama yang menyetujui
pemisahan ras pada kereta api dan trem di Tennessee pada tahun 1875, seluruh
negara bagian di Selatan menerapkan pemisahan ini pada kereta api mereka.
Tanda bertuliskan "Whites Only" ("Hanya Untuk Kulit Putih") dan "Blacks"
("Kulit Hitam") tergantung di mana-mana. Sebenarnya, semua ini hanyalah
pemberian status resmi pada keadaan yang sebelumnya telah ada. Pernikahan
antar ras yang berbeda dilarang. Menurut undang-undang yang berlaku, pemisahan
ras wajib dilaksanakan di rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman.
Pada penerapannya, peraturan ini juga merambah ke hotel, gedung pertunjukan,
perpustakaan, bahkan lift dan gereja. Tempat di mana terjadi pemisahan
ras paling jelas adalah sekolah. Penerapan kebijakan ini berdampak paling
besar terhadap warga kulit hitam, dan merupakan penghalang utama bagi
kemajuan peradaban mereka.
Di akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 di Amerika, warga kulit putih memperlakukan orang-orang
berkulit hitam dengan semena-mena. Undang-undang dan penerapannya
jelas mengungkapkan bahwa orang berkulit hitam tidak dianggap sebagai
manusia. Di saat warga kulit putih hidup dalam kemewahan, orang-orang
berkulit hitam menerima perlakuan yang tidak manusiawi.
|
Penerapan kebijakan pemisahan ras diwarnai dengan gelombang
kekerasan. Terjadi peningkatan tajam pada jumlah orang kulit hitam yang
dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan. Antara tahun 1890 dan 1901,
sekitar 1.300 orang kulit hitam dihukum mati. Akibat perlakuan ini, orang-orang
kulit hitam melakukan perlawanan di beberapa negara bagian.
Gagasan dan teori rasis mewarnai masa-masa
tersebut. Tak lama kemudian, rasisme biologis Amerika diterapkan sebagaimana
hasil penelitian yang dicapai R. B. Bean melalui metoda pengukuran tengkoraknya,
dan dengan dalih melindungi penduduk benua baru tersebut dari gelombang
migrasi tak terkendali, muncullah rasisme Amerika gaya . Madison Grant,
pengarang buku The Passing of the Great Race (1916) menulis bahwa
percampuran dua ras tersebut akan menyebabkan munculnya ras yang lebih
primitif dibanding spesies berkelas rendah, dan ia menghendaki pelarangan
atas perkawinan antar ras.
PENINDASAN TERHADAP ORANG-ORANG
BERKULIT HITAM
Ku Klux Klan adalah kelompok yang melakukan serangan paling biadab terhadap warga berkulit hitam. Rantai sebagaimana terlihat di samping digunakan untuk mengikat para budak hitam satu dengan yang lain. |
Rasisme telah ada di Amerika sebelum Darwin, sebagaimana halnya di seluruh dunia. Namun, seperti yang telah kita ketahui, Darwinisme memberikan dukungan nyata terhadap pandangan dan kebijakan rasis di paruh kedua abad ke-19. Sebagai contoh, sebagaimana yang telah kita pahami dalam bab ini, ketika para pendukung rasisme melontarkan pandangan mereka, mereka menggunakan pernyataan Darwinisme sebagai dalih. Gagasan yang dianggap biadab sebelum masa Darwin, kini mulai diterima sebagai hukum alam.
Kebijakan Biadab Pendukung Rasisme-Darwinisme
Pemusnahan Warga Aborigin
Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan Aborigin.
Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun mengalami
salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan penyebaran
para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan ini
adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku aborigin
telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.
PEMBANTAIAN WARGA ABORIGIN Penduduk asli Australia, Aborigin, dianggap sebagai spesies manusia yang belum berkembang oleh para evolusionis dan, karenanya, mereka pun dibantai. |
Pada tahun 1870, Max Muller, seorang antropolog evolusionis
dari London Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi
tujuh tingkatan. Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu
orang kulit putih Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis
Sosial terkenal, mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada
tahun 1876 sebagaimana berikut:
Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki
arti: kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum
seleksi alam yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa
perasaan belas kasih ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia
dan Maori...dan kita rampas warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah.
Pada tahun 1890, Wakil Presiden Royal Society
of Tasmania, James Barnard, menulis: "proses pemusnahan adalah sebuah
aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat." Oleh
sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa "ada
tindakan yang patut dicela" dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga
aborigin Australia.
Akibat pandangan rasis, yang tak mengenal
belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat dimulai
dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin
dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan
kepada para keluarga aborigin.
Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman
aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.
Kebijakan
yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak
dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian
Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari
berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui
kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka
adalah "mata rantai yang hilang" dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk
manusia.
Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada
saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya
dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia
dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana
dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:
Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang menjadi
mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan bagaimana
ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat pada
tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.
Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney selama 20
tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku saku
Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan "binatang-binatang Australia".
Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya tentang cara
bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka akibat peluru
pada "spesimen" yang baru terbunuh.
Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki 'Angel
of Black Death' atau 'Malaikat Kematian si Hitam') datang ke Australia
untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin
untuk ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk
diisi dengan bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada
atasannya di Museumnya. Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan
segera balik ke negaranya sambil membawa sejumlah spesimennya.
Misionaris New South wales adalah saksi
yang merasa ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda
terhadap sekelompok yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan
dan anak-anak. Empat puluh lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak
terbaiknya dibungkus dan di kirim ke luar negeri.
Pemusnahan suku aborigin berlanjut hingga abad ke-20. Di
antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah pengambilan
paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan Thornhill,
yang muncul di Philadelphia Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan
perlakuan terhadap suku aborigin sebagai berikut:
KISAH PENCULIKAN KELUARGA ABORIGIN
Associated Press - Warga aborigin yang tinggal di gurun pasir
terpencil Australia di sebelah barat laut terbiasa mencorengkan arang
pada kulit anak-anak mereka yang berwarna terang, dengan maksud mencegah
para petugas kesejahteraan negara membawa mereka pergi. "Para petugas
kesejahteraan tersebut menangkap anda begitu saja ketika mereka menemukan
anda," ujar seorang anak yang pernah diculik, bertahun-tahun kemudian.
"Warga kami akan menyembunyikan kami dengan mewarnai kami menggunakan
arang."
"Saya dibawa ke Moola Bulla", ucap salah
seorang pekerja yang diculik ketika masih kanak-kanak. "Saat itu kami
berusia sekitar 5 atau 6 tahun." Kisahnya ini adalah satu di antara ribuan
yang didengar oleh Australia's Human Rights And Equal Opportunity Commission
(Komisi Hak Asasi Manusia Australia) selama pemeriksaan yang memilukan
tentang "generasi yang dicuri". Dari tahun 1910 hingga 1970-an sekitar
100.000 anak-anak aborigin diambil dari para orang tua mereka... Anak-anak
berkulit terang dirampas dan diserahkan kepada keluarga kulit putih untuk
dijadikan anak angkat. Anak-anak berkulit gelap ditempatkan di panti asuhan.
Bahkan kini, penderitaan tersebut begitu pedih sehingga kebanyakan
kisah tersebut dicetak tanpa pencantuman nama dalam laporan akhir komisi
yang berjudul "Bringing Them Home" ("Memulangkan Mereka ke Rumah") tersebut.
Komisi tersebut mengatakan bahwa tindakan para pemegang kekuasaan masa
itu dapat disamakan dengan kejahatan pemusnahan etnis menurut pengertian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah telah menolak mengikuti saran
dari hasil penyelidikan untuk membentuk suatu pengadilan guna mempertimbangkan
pembayaran ganti rugi bagi anak-anak aborigin yang pernah diculik.
Seperti yang telah kita saksikan, perlakuan tidak manusiawi,
pembantaian, kekejaman, kebiadaban, dan pemusnahan yang dilakukan ini
semuanya dibenarkan oleh teori Darwinisme tentang "seleksi alam", "pertarungan
untuk mempertahankan hidup", dan "keberlangsungan hidup bagi yang terkuat".
Semua pengalaman pahit dan mengenaskan yang diderita penduduk
asli Australia ini hanyalah sebagian kecil dari bencana yang ditimbulkan
Darwinisme terhadap dunia.
Ota Benga
Setelah Darwin menyatakan dalam bukunya The Origin of Species
bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang sama, pencarian
fosil-fosil guna mendukung skenario ini pun dimulai. Tetapi sejumlah evolusionis
meyakini bahwa makhluk "separuh kera separuh manusia" dapat ditemukan
tidak hanya pada catatan fosil, tetapi juga dalam keadaan masih hidup
di berbagai belahan dunia. Di awal abad ke-20, pencarian guna menemukan
"mata rantai yang hilang" tersebut menjadi penyebab munculnya berbagai
tindakan biadab. Salah satunya adalah kisah tentang pigmi atau manusia
kerdil asal Afrika bernama Ota Benga.
Ota Benga ditangkap di Kongo oleh seorang peneliti evolisionis
bernama Samuel Verner pada tahun 1904. Warga pribumi ini, yang namanya
berarti "teman" dalam bahasanya, telah menikah dan memiliki dua orang
anak. Tetapi ia diikat dengan rantai layaknya binatang, dimasukkan dalam
kandang, dan dikirim ke Amerika Serikat. Di sana, para ilmuwan evolusionis
memasukkannya ke dalam kandang bersama dengan berbagai jenis kera pada
Pekan Raya Dunia St. Louis dan mempertontonkannya sebagai "mata rantai
yang terdekat dengan manusia". Dua tahun kemudian mereka membawanya ke
kebun binatang Bronx di New York. Di tempat ini, Ota Benga bersama dengan
beberapa simpanse, seekor gorila bernama Dinah dan seekor orang utan bernama
Dohung dipertontonkan sebagai "nenek moyang manusia yang paling tua".
Direktur kebun binatang tersebut, seorang evolusionis bernama Dr.William
T. Hornaday, memberikan sambutan panjang tentang rasa bangga yang diterimanya
karena memiliki "mata rantai yang hilang". Para pengunjung kebun binatang
memperlakukan Ota Benga di dalam kandangnya seperti seekor binatang. Sebuah
edisi New York Times yang dicetak waktu itu menggambarkan perilaku para
pengunjung tersebut:
OTA BENGA Ota Benga adalah penduduk asli Afrika. Oleh para peneliti evolusionis, ia ditangkap layaknya seekor binatang, ditempatkan dalam kandang, dan dipertontonkan bersama sejumlah monyet di kebun binatang. |
Terdapat 40.000 pengunjung kebun binatang
pada hari Minggu. Hampir setiap pria, wanita dan anak-anak dari kerumunan
ini mendatangi rumah kera untuk melihat pertunjukan sang bintang di kebun
binatang - yakni manusia liar dari Afrika. Mereka mengejar-ngejarnya sepanjang
hari, bersorak, tertawa, dan berteriak. Beberapa dari mereka menyodok
tulang rusuknya, yang lain membuatnya tersandung, semua orang menertawakannya.
New York Journal edisi 17 September 1906 menyatakan hal ini
dilakukan demi membuktikan kebenaran evolusi, disamping mengecamnya sebagai
kedzaliman dan kebiadaban sebagaimana berikut:
Orang-orang ini, tanpa pemikiran dan kearifan telah mempertontonkan
seorang manusia kerdil dari Afrika dalam sebuah kandang monyet. Gagasan
mereka, mungkin, adalah untuk menanamkan pemahaman yang benar tentang
evolusi.
Namun kenyataannya, satu-satunya hasil yang didapat hanyalah
pembenaran untuk mencaci-maki ras Afrika, yang selayaknya mendapatkan,
paling tidak, rasa simpati dan perlakuan baik dari warga kulit putih negeri
ini, setelah segala kebiadaban yang dideritanya di sini.....
Sungguh memalukan dan menjijikkan bahwa
seorang manusia yang kurang beruntung, yang memiliki kekurangan jasmani,
yang diciptakan oleh Kekuatan yang sama sebagaimana yang menempatkan kita
semua di sini dan melengkapi kita dengan perasaan dan ruh yang sama, harus
dikurung dalam sebuah kandang bersama sejumlah kera dan dijadikan bahan
olok-olokan masyarakat.
New York Daily Tribune juga menurunkan berita tentang Ota
Benga yang diperton-tonkan di kebun binatang dengan tujuan membuktikan
kebenaran evolusi. Sanggahan dari direktur kebun binatang yang Darwinis
tersebut sama sekali tidak senonoh:
Pertunjukan seorang pigmi Afrika dalam
kandang yang sama dengan seekor orang utan di kebun binatang New York
minggu lalu menimbulkan kecaman hebat. Sejumlah orang menyatakannya sebagai
upaya sang direktur Hornaday untuk menunjukkan hubungan dekat antara orang
Negro dan kera. Dr. Hornaday menyanggahnya. "Jika orang kerdil tersebut
di dalam kandang," ujar Dr. Hornaday, "hal itu disebabkan ia merasa paling
nyaman berada di sana, dan karena kami tidak mengetahui apa lagi yang
harus kami perbuat terhadapnya. Ia bukanlah seorang tawanan, kecuali jika
tak seorangpun mengatakan adalah hal yang bijaksana untuk membiarkannya
berjalan-jalan mengelilingi kota tanpa seorangpun yang mengawasinya."
Pertunjukan Ota Benga di kebun binatang bersama-sama dengan
gorila layaknya seekor binatang telah memicu keresahan berbagai kalangan.
Sejumlah lembaga mengusulkan ke pihak-pihak yang berwenang untuk menghentikan
pertunjukan tersebut dengan menyatakan bahwa Ota Benga adalah seorang
manusia biasa dan perlakuan terhadapnya semacam ini merupakan perbuatan
yang sangat biadab. Salah satu surat permintaan tersebut dimuat dalam
"New York Globe edisi 12 September 1906 sebagaimana berikut:
Kepada editor New York Globe:
Pak - Saya tinggal di wilayah selatan selama beberapa tahun,
karenanya saya tidak lagi merasa sangat tertarik melihat orang negro,
tapi tetap meyakininya sebagai manusia. Saya pikir, sungguh memalukan
bagi pihak-pihak berwenang di kota besar ini karena membiarkan pemandangan
sebagaimana yang dapat disaksikan di kebun binatang Bronx - seorang anak
negro, dalam pameran di kandang monyet...
Seluruh bisnis pigmi ini wajib diperiksa ..
Pertunjukan Manusia dan Kera Tidak Direstui Kalangan
Pendeta
Pdt. Dr. MacArthur Menganggap Pertunjukan Tersebut Merendahkan
Martabat
"Orang yang bertanggung jawab atas tontonan ini telah merendahkan
martabat dirinya sendiri sebagaimana perlakuaannya terhadap orang Afrika
tersebut," kata Dr. MacArthur, "Daripada memperlakukan saudara kecil ini
sebagai seekor binatang, ia sepatutnya dimasukkan ke sekolah untuk mengembangkan
kemampuan sebagaimana yang telah Tuhan karuniakan kepadanya".
Dr.Gilbert mengatakan dirinya telah memutuskan
bahwa tontonan tersebut merupakan bentuk kebiadaban dan bahwa ia dan para
pastur lainnya akan bergabung dengan Dr. MacArthur demi memperjuangkan
agar Ota Benga dibebaskan dari kandang kera dan diletakkan di tempat lain.41
Akhir dari segala perlakuan tidak manusiawi ini adalah tindakan
bunuh diri Ota Benga. Tetapi di sini, permasalahannya lebih besar dari
sekedar hilangnya nyawa seorang manusia. Kejadian ini merupakan contoh
nyata dari kekejaman dan kebiadaban yang dimunculkan dalam kehidupan oleh
rasisme para pendukung Darwinisme.
MASYARAKAT
ESKIMO DAN RASISME
Peneliti
kutub utara ternama, Robert Pearly, membawa sekelompok warga Eskimo
kutub ke New York pada tahun 1897. Yang termuda dalam kelompok ini
adalah seorang anak bernama Minik. Kelompok tersebut, yang di dalamnya
termasuk Minik dan ayahnya, dipertontonkan cukup lama di Musium
Sejarah Alam Amerika. Selama masa itu, ayah Minik meninggal dunia
karena sakit. Minik pun hidup sebatang kara dan tanpa perlin-dungan
di New York. Pada suatu hari Minik melihat kerangka ayahnya dipertontonkan
di Musium Sejarah Alam Amerika sebagai "suatu contoh spesies". Ketika
ia meminta jasad ayahnya, pihak berwenang di musium menolak permohonannya.
Satu hal penting yang perlu diketahui berkenaan dengan
kehidupan Minik adalah Robert Peary, sang peneliti yang membawa
orang-orang eskimo ke Amerika. Peary memiliki pandangan rasis. Meskipun
hidup di tengah-tengah warga Eskimo, Peary secara terbuka berpandangan
bahwa orang-orang tersebut tidak sama dengan dirinya.
Menurutnya, orang-orang Eskimo dan Negro tergolong
ras rendah. Meskipun mereka kuat, cerdas, dan tergolong orang-orang
jujur yang memeliha-ra keluarga mereka, mereka tidak sebagus orang
kulit putih... Satu waktu ia menulis pernyataan angkuh berikut:
"Saya telah seringkali ditanya: 'Apa manfaat orang-orang Eskimo
bagi dunia? Mereka sangat tidak bernilai bagi perniagaan; dan, terlebih
lagi, mereka tidak memiliki cita-cita. Mereka memaknai kehidupan
sama sebagaimana seekor rubah, atau beruang, murni dengan insting."1
Tujuan Pearly membawa orang- orang Eskimo ke Amerika dijelaskan
oleh seorang peneliti tentang masalah ini: "Apakah alasan Peary
membawa enam orang Eskimo ini ke New York? ...Mungkin enam orang
eskimo ini sekedar contoh, persis seperti tengkorak dan tulang-belulang
yang telah ia kumpulkan sebelumnya, tetapi lebih menarik karena
darah masih mengalir di dalam urat nadi mereka. ... Ia juga merasakan
ketertarik-an yang tidak wajar pada tubuh orang-orang Eskimo lain
yang ia ketahui namanya, yang kuburan mereka telah ia gali di tahun
sebelumnya dan ia bawa ke selatan untuk menghiasi ruangan-ruangan
musium."2
Minik, Ota Benga, dan banyak orang lainnya yang namanya
tidak diketahui, menderita perlakuan tidak manusiawi di tangan para
'ilmuwan' yang menganggap rendah ras-ras lain.
1. Ken Harper, Give Me My Father's Body, Steerforth Press, South Royalton, Vermon hal. 8 2. Ibid, hal. 22 |
MENTALITAS
RASIS HINGGA KINI MASIH ADA, DAN MENDAPATKAN PENGUKUHAN DARI DARWIN...
|
KEMULIAAN BERSUMBER DARI AKHLAK, DAN BUKAN DARI RAS ATAU KETURUNAN
Darwin menggambarkan manusia sebagai spesies binatang yang
berkembang. Ia juga mengemukakan bahwa sejumlah ras belum menyempurnakan
perkembangan mereka, dan sebagai spesies yang lebih dekat kepada binatang.
Dalam sejarah umat manusia, semua gagasan ini terbukti sangat berbahaya
dan bersifat menghancurkan. Mereka yang telah menjadikan pernyataan Darwin
sebagai pedoman hidup mereka telah menindas ras-ras lain tanpa belas kasih,
memaksa mereka hidup dalam keadaan yang sangat sulit, dan bahkan memusnakan
mereka.
Bryan Appleyard, penulis buku Brave New Worlds,
menjelaskan sifat bengis yang mendasari rasisme, beserta akibatnya, sebagaimana
berikut:
Intinya adalah bahwa sekali orang menganggap
anda sebagai makhluk yang rendah dengan dalih apapun, entah takhayul atau
ilmiah, tampaknya tidak ada batas sekejam apa tindakan yang mungkin mereka
lakukan terhadap anda. Dan mereka sangat mungkin akan melakukan kekejaman
tersebut setelah merasa mendapatkan pembenaran secara penuh, karena ini
merupakan tahapan kecil dari meyakini manusia lain sebagai kelas rendah
kepada meyakini bahwa ia buruk, berbahaya, atau merupakan ancaman terhadap
manusia kelas 'unggul'. Bahkan, sebagian orang mungkin memberlakukan hal
ini secara lebih umum dan menegaskan bahwa semua yang tergolong 'rendah'
adalah berbahaya karena mengancam kehidupan atau kesehatan seluruh ras
manusia. Lalu mereka dapat menganjurkan sterilisasi, pembatasan perkawinan,
atau bahkan pembunuhan demi mencegah ancaman dari orang-orang yang tersingkir
ini terhadap keutuhan spesies tersebut.
Sesungguhnya, semua manusia diciptakan sama. Setiap orang
diciptakan oleh Allah (Tuhan). Alquran menjelaskan penciptaan manusia
sebagaimana berikut:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur! (QS. As Sajdah, 32:7-9)
Sebagaimana diungkap dalam ayat di atas, manusia memiliki
ruh yang Allah tiupkan ke dalam diri mereka. Setiap manusia dari ras manapun
berpikir, merasakan, mencintai, menderita, merasakan kegembiraan, memahami
perasaan cinta, kasih sayang, dan haru. Setiap orang juga mengetahui kekejaman,
kehinaan, dan kesusahan. Dengan demikian, sepanjang sejarah, mereka yang
memyakini manusia dari ras-ras lain sebagai binatang yang belum sepenuhnya
berkembang dan menganiaya mereka; mereka yang menyakiti, menindas, memeras
walau hanya satu orang; dan mereka yang mendukung segala tindakan ini
dengan bukti dan teori palsu yang mereka buat telah melakukan dosa besar
dikarenakan kebodohan mereka.
Di masa kini masih terdapat budaya dari masyarakat manusia
yang relatif belum berkembang. Orang-orang ini memiliki seluruh sifat
kemanusiaan, akan tetapi mereka tidak memiliki ciri-ciri yang, dipandang
dari sisi teknik dan budaya, umumnya berlaku di seluruh dunia. Iklim dan
kondisi alam di mana mereka tinggal telah menyebabkan banyak masyarakat
hidup terisolasi dari masyarakat dunia pada umumnya, dan mereka telah
membangun budaya yang sangat berbeda. Tetapi pada setiap masyarakat ini
terdapat semua ciri, adat-istiadat, dan kebiasaan yang secara umum berlaku
bagi seluruh umat manusia. Mereka yang memiliki rencana tersembunyi, dan
yang diuntungkan dengan adanya rasisme, bersemangat dalam mengimani teori
Darwin. Mereka menganggap orang-orang yang terisolasi tersebut, yang sebenarnya
tidak berbeda dengan manusia-manusia lainnya, sebagai anggota ras rendah,
bahkan sebagai binatang. Akibat berpandangan seperti ini, bahkan di masa
kita, muncullah orang-orang yang menindas dan memandang hina manusia serta
masyarakat terbelakang dengan berdalih bahwa mereka belum cukup berevolusi.
Sumber: Buku Harun Yahya (Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar