(Analisa Akurat Mengapa Terjadi Serangan WTC 11 September 2001)
Oleh: Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Pendahuluan(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Bagian pertama dari makalah ini.
'Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah'. mengungkap berbagai fakta
yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr. Alberto D. Pastore
Ph.D., berjudul 'Stranger Than Fiction', yang menceritakan bagaimana
peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang
menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan
atas gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington
DC. Pada tanggal 11 September 2001. Perbuatan keji itu dinisbahkan
kepada 19 orang "teroris Islam" dari Al-Qaidah dan para pendukungnya
yang tersebar di seluruh dunia, termasuk konon menurut fitnah itu,
Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, sebagai pimpinan organisasi teroris regional
Jama'ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari ini para "teroris Islam"
itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan pengadilan oleh
pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.
Dua orang pejabat negara yang
melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq (2004), mantan Menteri
Lingkungan Hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael Meacher, dan mantan
Menteri Keuangan pemerintah Bush, Paul O'Neill mengungkapkan fakta,
berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi motivasi
sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan
oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada
tanggal 11 September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan
untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum
muslimin.
Pada bagian kedua makalah ini,
diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan Menteri
Lingkungan Hidup dalam Kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni
2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah
kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London,
edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11
September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir
Mohammad disebut sebagai "musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum
muslimin".
Sedang pada bagian ketiga adalah hasil
wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan
artikel, 'Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September'
(Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rezim Sebelum 11
September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang
diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).
Selain itu, atas pertanyaan wartawati
Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush mengakui serangan terhadap
Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11 September 2001,
serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di
Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah
Amerika Serikat jauh sebelumnya.
Tanpa
ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih
"perang membasmi terorisme", Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin
di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri
muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan "carpet bombing",
karena dosa Afghanistan "menampung kelompok teroris Al Qaidah". Publik
dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah,
melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak
tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central
Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri
miskin tersebut.
Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq
menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih Iraq mengembangkan dan
menyimpan "senjata-pemusnah-massal", berdiri di belakang serangan 11
September 2001, dan mendukung serta melindungi Al- Qaidah. Pada tanggal
28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden Bush
melaporkan, "The British government has learned that Saddam Husein
recently sought significant quantities of uranium from Africa"
(Pemerintah Inggris telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein
baru-baru ini telah mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar
uranium dari Afrika). Enambelas butir kata yang kini menjadi gunjingan
orang banyak itu kini ternyata didasarkan pada dokumen yang palsu, atau
dipalsukan, yang digunakan sebagai dalih oleh Presiden Bush untuk
mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat untuk mendapatkan
persetujuan melibas Iraq.
Perdana Menteri Inggris Tony Blair
dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke Iraq
dilancarkan pada medio Maret 2003, bahkan mengintimidasi, bahwa "dalam
tempo 45 jam setelah perintah Saddam Hussein dikeluarkan Iraq akan
mampu melancarkan serangan dengan senjata-senjata nuklir, kuman dan
biologis". Kalau sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap
Iraq memang harus segera dilaksanakan, sebagaimana alasan Bush,
"sebelum Iraq dapat menyerang kita". Hanya saja ternyata pernyataan itu
bohong dan seratus persen fitnah, yang digunakan sebagai dalih untuk
menyerang Iraq.
Sebenarnya direktur CIA, George
Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan Oktober 2003, secara pribadi
pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung Putih agar menghapus
"16-kata" itu dari konsep pidato Presiden Bush yang menuduh Iraq telah
mengusahakan untuk "membeli lima ratus ton uranium-oksida" dari Niger.
Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung
jawab dengan "informasi intelijen" itu, karena diketahui didasarkan
pada dokumen dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden
Bush tetap menekan CIA agar mengeluarkan analisis yang nadanya
mendukung "temuan" Presiden Bush itu. ('The Amazing Stories of
Condoleezza Rice', http://www.buzzflash.com, July 3, 2003).
Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar
laporan menteri luar-negeri Collin Powell, menolak informasi tentang
upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena diketahui isi dokumen itu
memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan. Antara lain sebagai
contoh, presiden Niger yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen
presiden Bush itu ternyata adalah tokoh yang telah lama meninggal
dunia. Tidak heran kalau dokumen semacam itu ditolak mentah-mentah oleh
duta-besar Niger di PBB (Ibid.)
Karena kecaman yang bertubi-tubi
terhadap kesemberonoan Presiden Bush menggunakan intelijen yang tidak
akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada bulan Mei 2003,
menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush
mengumbar kebohongan, "We've found the weapons of mass destruction. You
know, we found biological laboratories. And we'll find more weapons as
time goes on. But for those who say we haven't found the banned
manufacturing devices or banned weapons, they're wrong. We found them"
(Kita telah menemukan senjata senjata pemusnah massal itu. Kita telah
menemukan laboratorium senjata-senjata kimia. Dan kita akan menemukan
lebih banyak lagi senjata dengan berjalannya waktu. Mereka yang
mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat atau senjata terlarang
itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya). Sampai hari ini nyatanya
pasukan Amerika dan Inggris di Iraq belum juga berhasil menemukannya
(The Independent Institute, 'Preemptive War Strategy: A New US
Empire?', http://www.independent.org , July 26, 2003).
Kini fitnah busuk itu terungkap satu
per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces
Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka
atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon "dibajak oleh 19
orang teroris Arab", dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember
2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari
daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP
menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang
Arab. Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah
kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George's Journal,
Maryland, 'Operation 911: No Suicide Pilots', edisi September 18, 2001,
dikutip oleh http://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)
Pretext untuk menyerang Afghanistan, Iraq dan 'perang membasmi terorisme'
(FBI photos of the 19 Terrorists hijackers (16 of 19 had Saudi Passports)
Maling teriak Maling, Lempar Batu Sembunyi Tangan, watak dasar konspirator
Cerita tentang 19 orang "teroris Islam"
Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil
menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar
WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan
untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa
kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia. Nama Muhammad
Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai
para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian
mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke
gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut
Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana
ketiga "pilot" itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan,
jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti
Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172
saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu ("... they
had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were
considered by their flying instructors to be incompetent to fly even
light single-engine planes") (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus
peristiwa serangan dan hancurnya gedung kembar WTC itu mencurigai
pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat 'remote
control' dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah
terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan
penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi
kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.
Kesimpulan itu makin memperkuat
analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan
gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan "orang dalam", yang
mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan
Mossad.
Pentagon setelah ditabrak pesawat (hoax) American Airlines Flight 77
Bersamaan dengan itu para ahli demolisi
Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan
runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya
sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu
disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanya oleh tabrakan pesawat,
para ahli demolisi itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian
masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai
110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para
arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai
bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang
mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak
oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain
gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara
runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri,
apa yang mereka sebut 'controlled demolition' dari dalam, oleh
orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan
memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua
tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang
konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak
memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang
berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana
layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam
bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, "too good to be
true" (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan
Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli
2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan
. "tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada
kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan tanggal 11
September 2001". Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003
telah menjadi negeri jajahan Amerika.
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan
Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang
menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard
Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the
Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul
Wolfowitz, deputi menteri pertahanan, keduanya disebut-sebut berdiri di
belakang pencetus keputusan untuk menyerang Iraq ketika ditanya pers
tentang senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan enteng
menjawab, "Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan
pernah tahu dimana barang itu." (William Pitt, 'Though Heavens Fall',
July 25, 2003)
Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong *
Perhatian besar tengah disorotkan
kepada pertanyaan, mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadap
Iraq, dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada Inggris. Penjelasan
resmi selama ini ialah bahwa setelah gedung-kembar World Trade Center
di New York dihantam dan dihancurkan oleh dua buah pesawat bunuh-diri
pada 11 September 2001, maka tindak balasan terhadap Al Qaidah yang
berpangkalan di Afghanistan merupakan langkah pertama yang dinilai
wajar dalam rangka perang global membasmi terorisme. Kemudian, karena
Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggris dituduh menyimpan
senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas
ke Iraq. Namun teori tersebut tidak cocok dengan kenyataan yang ada.
Kebenaran barangkali akan jauh lebih kelam.
Masyarakat dunia kini telah
mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk pembentukan Pax Americana yang
mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu) menteri pertahanan Dick
Cheney (sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld (sekarang menteri
pertahanan), Paul Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb Bush (adik
Presiden Bush), dan Libby Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen
itu, yang diberi judul 'Membangun Kembali Pertahanan Amerika', selesai
ditulis pada bulan September 2000 (satu tahun sebelum peristiwa 11
September 2001) oleh kelompok think-tank neo-kon, Project for the New
American Century (PNAC).
Rencana dalam dokumen itu
memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk
secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau
tidak. Dokumen itu menyatakan "sementara konflik di Iraq yang tak
terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran dengan
kekuatan yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk melahirkan
persoalan tentang rezim Saddam Hussein".
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung
dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby
Lewis, 'To Rebuild America's Defense', yang menyatakan, Amerika Serikat
harus "mencegah negara-negara industri maju sampai menantang
kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran
regional atau global yang lebih besar". Dokumen itu menjelaskan
tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia "menuntut kepemimpinan
politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB".
Dokumen itu selanjutnya menyatakan
"bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena",
pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap
dipelihara ... karena "Iran akan menjadi ancaman besar terhadap
kepentingan Amerika Serikat seperti yang pernah dilakukan oleh Iraq".
Dokumen itu juga menyoroti Cina untuk dilakukan "perubahan rezim",
dengan menyatakan bahwa "sekarang sudah tiba waktunya untuk
meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Tenggara", yang
kemudian menjadi dasar untuk membuka apa yang disebut oleh Presiden
Bush "front kedua perang membasmi terorisme di Asia Tenggara", yang
menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara. Dalih "front kedua" itu
disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris regional Jama'ah
Islamiyyah. Guna memperkuat tuduhan itu lalu "Bom Bali" dipasang,
seperti halnya modus serangan WTC New York oleh "teroris".
Dokumen itu juga menyerukan perlunya
pembentukan "kekuatan ruang angkasa" untuk mendominasi ruang-angkasa,
dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah
"musuh-musuh Amerika" memanfaatkan internet terhadap kepentingan
Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat
mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman "yang dapat
menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah
peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang
bermanfaat".
Akhirnya, dokumen yang disiapkan
setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara,
Suriah, dan Iran, sebagai rezim yang berbahaya . 'axis of evil' . dan
menyatakan adanya rezim-rezim itu membenarkan akan kebutuhan "sistem
komando dan kendali yang mendunia". Dokumen itu benar-benar memuat
cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen
itu kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian
besarnya orang Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber
keterangan yang baik tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum,
selama, dan sesudah 11 September 2001 tentang thesis perang global
terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini. Hal ini akan
terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat
berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak,
untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya
peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara
yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika
Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Yang lebih aneh lagi dilihat dari
kaca-mata perang terhadap terorisme pada hari dimana terjadi serangan
11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari
pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat
pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan
terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi. Terhadap
kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat buru-sergap yang menyambang
dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer
dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon
pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur
standar dari FAA (Federal Aviation Agency, Badan Penerbangan Federal
AS) keharusan menyergap setiap pesawat yang dibajak. Antara bulan
September 2000 sampai dengan bulan Juni 2001 saja tidak kurang dari 67
kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD (Komando Pertahanan Uara
Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawat-pesawat yang
mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah
ditetapkan. (AP, August 13, 2002)
Apakah kelambanan itu hanya karena
ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan, atau bersikap masa bodoh ? Atau
apakah operasi pertahanan udara Amerika Serikat secara sengaja lengah
pada tanggal 11 September 2001 itu ? Kalau demikian halnya, mengapa dan
atas perintah siapa ?
Mantan jaksa federal Amerika Serikat,
John Loftus, mengatakan, "Informasi yang disampaikan oleh badan-badan
intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya,
sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di
belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan
mereka".
Juga tanggapan pemerintah Amerika
Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak
telihat ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Amerika Serikat
untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal
Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah merundingkan
ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan dengan
kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat pemerintah Amerika
Serikat dengan ketus berucap, "Tindakan sembrono dapat menimbulkan
resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai
tertangkap".
Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika
Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih lanjut, "tujuan kita bukan untuk
menangkap Osama bin Ladin" (AP, April 5, 2002). Pernyataan itu
dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve ABC News,
bahwa "FBI headquarters wanted no arrests" (FBI tidak berniat untuk
menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002).
Dan pada bulan November 2001 angkatan
udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali menemukan tempat
bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka tidak bisa
melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada
waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002).
Tidak satu pun dari bukti-bukti yang
terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah
sendiri, seperti gemuruhnya gembar-gembor tentang "perang membasmi
terorisme".
Daftar bukti itu sesuai benar dengan
cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang
disebut "perang membasmi terorisme" itu digunakan sebagian besar hanya
sebagai isapan jempol untuk menutupnutupi tujuan strategis geopolitik
Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu
mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan
Majelis Rendah Inggris, "Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin
memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan
kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan
alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001" (Sk.
The Times, London, Juli 17, 2002).
Menteri pertahanan Donald Rumsfeld
sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke Iraq, sehingga pada
10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk menemukan bukti
yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11 September 2001. CIA
kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME, May 13, 2002).
Peristiwa 11 September 2001 menciptakan
dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini
terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan
dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang
jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang
disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of
Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan,
"Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi
faktor yang berpengaruh mendestabilisasi ... aliran minyak ke
pasar-pasar internasional dari Timur Tengah".
Dokumen itu diserahkan kepada kelompok
tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick
Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu
sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak
bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu "intervensi
militer" adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October
6, 2002).
Bukti lainnya sehubungan dengan
rencana invasi ke Afghanistan juga ada. BBC melaporkan (September 18,
2001) bahwa Niaz Niak, mantan menteri luar-negeri Pakistan dibisiki
oleh seorang pejabat Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan di Berlin
pada medio-Juli 2001 (dua bulan sebelum terjadinya peristiwa 11
September 2001) bahwa "tindakan militer terhadap Afghanistan akan
dilakukan pada medio- Oktober". Sampai dengan bulan Juli 2001
pemerintah Amerika Serikat masih memandang Taliban sebagai sumber
stabilitas di Asia Tengah yang memungkinkan untuk membangun jalur pipa
hidro-karbon dari ladang-ladang minyak dan gas bumi di Turkmenistan,
Uzbekistan, Kazakhstan, melalui Afghanistan dan Pakistan, menuju pantai
Lautan Hindia. Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang
disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam
dengan angkuh, "atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas,
atau kami akan kubur anda dengan karpet bom" (Inter Press Service,
November 15, 2001).
Dengan latar-belakang semacam ini,
tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika
Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11
Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya
paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah
dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Sebenarnya telah ada preseden sebelum
ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden
Franklin D. Roosevelt pernah menggunakan pendekatan persis seperti ini
dalam hubungan dengan peristiwa Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Beberapa peringatan pendahuluan akan adanya serangan terhadap Pearl
Harbor telah diterima oleh pemerintah di Washington, tetapi informasi
itu tidak pernah diteruskan kepada armada Amerika Serikat di Pasifik.
Kemarahan nasional yang timbul akibat peristiwa tersebut berhasil
menggerakkan rakyat Amerika yang sebelumnya enggan terjun ke dalam
Perang Dunia ke-2 yang terjadi di Eropa.
Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada
bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika
Serikat menjadi "kekuatan masa depan yang dominan" hanya bisa terjadi
dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada "suatu bencana dan
peristiwa yang menjadi katalisator layaknya sebuah Pearl Harbour yang
baru". Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika
Serikat menekan tombol "go" melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC
yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.
Motivasi yang mendorong tabir-asap
politik itu ialah baik Amerika Serikat maupun Inggris telah mulai
kehabisan suplai enerji hidro-karbon yang aman. Menjelang tahun 2010
Dunia Islam akan menguasai sebanyak 60% dari produksi minyak dunia, dan
yang lebih penting lagi mereka menguasai 95% dari kapasitas cadangan
minyak bumi dunia yang tersisa untuk ekspor. Sejak dasawarsa 1960-an
kebutuhan kian meningkat sementara suplai kian tipis. Keadaan ini
membuat Amerika Serikat dan Inggris makin tergantung dari suplai minyak
luar-negeri. Amerika Serikat yang pada 1990 produk minyak dalam
negerinya hanya mampu menutup 57% dari tuntutan kebutuhan, sementara
ladang-ladang dalam-negerinya hanya menghasilkan tidak lebih dari 39%
kebutuhan pada 2010. Menteri enerji Inggris menyatakan negeri itu akan
menghadapi masalah suplai yang lebih parah, bahkan telah dimulai pada
tahun 2005. Pemerintah Inggris telah menyiapkan kebijakan dimana 70%
dari kebutuhan listriknya terpaksa akan menggunakan gas bumi sebagai
pengganti minyak mulai tahun 2020, dan 90% dari gas bumi tersebut harus
diimpor dari luar.
Dalam
hubungan itu patut disimak Iraq menyimpan 110 trilyun cubic-feet
cadangan gas bumi di luar cadangan minyaknya. Sebuah laporan dari
komisi Kongres untuk urusan kepentingan nasional Amerika Serikat
melaporkan pada bulan Juli 2000, yang menjadi dasar ditulisnya dokumen
PNAC, bahwa sumber baru untuk suplai dunia yang paling menjanjikan ada
di kawasan Cekungan Kaspia, dan sumber ini akan memungkinkan Amerika
Serikat melepaskan diri dari ketergantungannya pada minyak Saudi
Arabia.. Dalam rangka melakukan diversifikasi rute untuk kepentingan
pengamanan dan pemasaran minyak Kaspia, sebuah jalur pipa diusulkan
untuk dibangun ke arah barat dari Turkmenistan melalui Azerbaidjan dan
Georgia menuju pelabuhan laut Turki di Ceyhan. Sedang sebuah jalur lagi
diusulkan ke arah timur dari Turkmenistan melalui Afghanistan dan
Pakistan dan berakhir di perbatasan India-Pakistan. Jalur ini dapat
diperpanjang terus ke India yang juga kelaparan akan minyak, terutama
untuk menyelamatkan pusat tenaga listrik milik Enron yang modalnya
dimiliki keluarga Bush di Dabhol terletak di pantai barat India, dimana
Enron telah menanam modal yang cukup besar $3 milyar, yang nasibnya
ditentukan oleh tersedianya minyak bumi dengan harga yang murah.
Inggris juga tidak lepas dari
ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai cadangan hidro-karbon dunia
yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan sebagiannya mengapa Inggris
dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer Amerika Serikat di Asia
Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu namanya British
Petroleum, sekarang berganti menjadi "Beyond Petroleum", karena Inggris
untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan minyak, tetapi
juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan substitusi
enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan mengangkangi
Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang Iraq
berakhir (Sk. The Guardian, London, October 30, 2002). Ketika menteri
luar negeri Inggris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia
pada bulan Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, "Inggris tidak
menghendaki kalah dengan negara-negara Eropa lainnya yang tengah
berebut bilamana saatnya tiba untuk mendapatkan kontrak pembagian
ladang-ladang minyak yang menjanjikan keuntungan besar" dengan Lybia
(BBC Online, August 10, 2002).
Kesimpulan dari seluruh analisis yang
diangkat dari artikel tulisan mantan Menteri Lingkungan Hidup Inggris
Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai "perang
global untuk menghabisi terorisme" mengusung ciri-ciri sebuah mitos
politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda
yang lain sama sekali yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun
hegemoni mendunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka
menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan bagi
hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, 'This War on Terrorism is
Bogus', kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi
September 6, 2003)
Mantan Menteri Keuangan dan Ketua Tim
Ekonomi pemerintahan Bush, Paul O'Neill, pada awal tahun 2004 menulis
sebuah buku memoar, 'The Price of Loyalty', tentang masa jabatannya
dalam pemerintahan George W. Bush. Tidak terlalu mengejutkan ketika ia
menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah
kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik
pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum erjadinya
peristiwa 11 September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan
Afghanistan dan menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya
"tindakan" yang perlu.
Ternyata perintah itulah yang kemudian
dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai "tindakan balasan"
terhadap para "teroris" dan "negara-negara yang membahayakan" keamanan
nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O'Neill dengan
koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal
11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan
perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai
prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11
September 2001.
Menurut Paul O'Neill, dalam sidang
tersebut Bush menyatakan, "Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu
orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan". Presiden Bush
selanjutnya menegaskan, "Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang
tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk
memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan
besar".
Juru-bicara Presiden Bush, Scott
McClellan, menyanggah laporan dan -- kecaman O'Neill, katanya,
"Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin untuk
memecahkan situsi di Iraq secara damai. Tetapi ..." kata McClellan
selanjutnya, "Saddam Hussein memang orang berbahaya sejak lama".
Ternyata atas tuduhan yang dicoba
diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui
sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal
12 Januari 2004. Kata Bush, "Seperti halnya pemerintahan sebelum saya,
kami memang bertekad untuk menggulingkan rezim (Saddam Hussein)... Kami
hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11
September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya
yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat
Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami
bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan masyarakat internasional, dan membuat
jelas Saddam Hussein harus dilucuti". Ketika ia ditanya bahwa Amerika
Serikat justeru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia
internasional, Bush menjawab, "Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi
berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman".
Paul O'Neill menyamakan sidang kabinet
Presiden Bush laksana "orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang
tuli". Kecaman Paul O'Neill memang membuat kaget Washington yang selama
ini menyangka orang-orang dekat Bush terdiri dari mereka yang
kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O'Neill diberhentikan pada
bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang
berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden
Bush (Margaret Neighbour, 'Bush Admits He Wanted Regime Change Before
11 September', The Scotsman, January 13, 2004).
Apa yang selama ini menjadi
keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh dan Joint Senate
Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri yang
menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri "perang
membasmi terorisme", bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara
yang mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling
berkait satu dengan lain seperti benang dengan kelindannya. Bagi
kalangan yang selama ini membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut
dengan ancaman "If you're not with us, you're against us", atau mereka
yang memanfaatkan kesempatan untuk menangguk di air keruh, melalui
berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh negara dari Inggris dan
Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya, kini menjadi
jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah menjadi
korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.
Artikel ditulis oleh ZA Maulani
dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of
9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada
tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber. Musholla Al
Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 1271018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar